
Sampang – suaraharianpagi.id
Tradisi Petik Laut di Desa Dharma Tanjung, Kecamatan Camplong, Kabupaten Sampang, yang seharusnya menjadi wujud rasa syukur nelayan kepada Tuhan atas hasil laut, kini menuai sorotan. Pasalnya, kegiatan tahunan tersebut diduga berubah menjadi ajang pungutan wajib yang memberatkan para nelayan.
Berdasarkan keterangan warga, setiap kapal besar diminta membayar Rp2 juta dan kapal kecil Rp500 ribu. Dengan jumlah sekitar 23 kapal besar dan 30 kapal kecil, total pungutan yang terkumpul diperkirakan mencapai Rp61 juta.
“Ini bukan tradisi, ini perampokan terselubung! Hasil tangkapan kami tidak seberapa karena cuaca buruk, tapi tetap dipaksa bayar. Kalau menolak, kami bisa dikucilkan,” ujar seorang nelayan yang enggan disebut namanya, Senin (6/10).
Padahal, menurut aturan, sumbangan masyarakat hanya sah bila bersifat sukarela. Biaya penyelenggaraan kegiatan desa seharusnya dapat diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) atau bantuan pemerintah, bukan melalui pungutan yang bersifat memaksa. Praktik semacam ini dinilai rawan masuk kategori pungutan liar (pungli) dan melanggar prinsip keadilan sosial.
Ironisnya, ketika media berusaha mengonfirmasi dugaan pungutan tersebut, Pelaksana Petik Laut, H. Dony, menutup rapat informasi.
Ia bahkan meminta media membayar biaya publikasi (advertorial) jika ingin meliput kegiatan tersebut. “Maaf mas, kami tidak ada biaya adv,” ujarnya singkat.
Warga mendesak agar pihak desa dan panitia memberikan penjelasan terbuka mengenai penggunaan dana tersebut. Mereka menegaskan, tradisi Petik Laut perlu terus dilestarikan, namun bukan dengan cara membebani nelayan kecil.
“Tradisi ini seharusnya menjadi simbol syukur dan kebersamaan, bukan alat untuk menguras kantong rakyat,” tegas seorang tokoh masyarakat setempat. *bun