Air terjun Coban Canggu, Pacet yang menawarkan keindahan alam dengan kesederhanaannya.(Suaraharianpagi.id/red)
Mojokerto — Suaraharianpagi.id
Di tengah hiruk-pikuk wisata buatan dan wahana swafoto yang marak di media sosial, Coban Canggu di Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, tetap berdiri dengan kesederhanaannya.
Air terjun setinggi sekitar 80 meter ini menawarkan ketenangan yang langka, udara segar pegunungan, dan gemericik air yang mengingatkan kita pada makna asli dari “wisata alam”.
Namun, di balik keindahan itu, tersimpan pekerjaan rumah besar: bagaimana menjaga kelestarian dan daya tarik Coban Canggu tanpa mengorbankan keaslian dan kenyamanan pengunjung.
Perjalanan menuju Coban Canggu bukan sekadar rekreasi, tetapi juga ujian fisik. Pengunjung harus menuruni ratusan anak tangga, melintasi jalan setapak, dan menyusuri sungai kecil sebelum tiba di lokasi utama. Jalur ini menantang, terutama bagi lansia atau keluarga yang membawa anak kecil.
Bagi sebagian orang, tantangan ini justru menjadi daya tarik bentuk wisata yang “murni”, menuntut usaha untuk menikmati keindahan alam. Namun bagi yang lain, kondisi medan dan fasilitas yang belum sempurna menjadi alasan untuk tidak kembali.
Tiket masuk ke Coban Canggu relatif murah, berkisar antara Rp7.500 hingga Rp10.000 per orang. Fasilitas dasar seperti toilet, musholla, dan gazebo tersedia, meski tidak selalu terawat baik. Masalah klasik wisata alam di daerah kembali muncul: kebersihan, perawatan infrastruktur, dan pengelolaan sampah.
Padahal, daya tarik wisata tidak hanya diukur dari pemandangan indah, tetapi juga dari kenyamanan pengunjung saat menikmatinya. Fasilitas yang memadai dan pengelolaan yang profesional menjadi kunci agar wisatawan tak hanya datang sekali, melainkan ingin kembali dan merekomendasikan.
Coban Canggu memiliki peluang besar untuk menjadi ikon wisata alam Mojokerto. Dengan letak strategis di kawasan Pacet yang juga dikenal dengan wisata air panas dan panorama pegunungan pengelola bisa mengembangkan konsep wisata terpadu: alam, edukasi, dan konservasi lingkungan.
Wisatawan yang datang tidak hanya disuguhi pemandangan air terjun, tetapi juga diajak memahami pentingnya menjaga kelestarian hutan dan sumber air. Model pengelolaan seperti ini terbukti berhasil di beberapa daerah lain di Indonesia yang mengandalkan ekowisata sebagai daya tarik utama.
Tantangan terbesar Coban Canggu bukanlah jumlah pengunjung, melainkan bagaimana menjaga keaslian alamnya di tengah arus komersialisasi wisata. Banyak tempat wisata alam kini berubah menjadi taman buatan penuh ornamen foto dan kafe estetik. Jika Coban Canggu ingin tetap relevan, maka yang harus dijual bukan sekadar pemandangan, melainkan pengalaman: ketenangan, kesegaran, dan rasa kembali pada alam.
Mojokerto sudah memiliki identitas kuat sebagai daerah warisan Majapahit. Kini tinggal bagaimana pemerintah daerah menyeimbangkan antara warisan budaya dan pesona alam. Coban Canggu bisa menjadi contoh, bahwa wisata tidak harus selalu ramai dan bising cukup alami, bersih, dan dikelola dengan hati.
Coban Canggu bukan hanya air terjun di Mojokerto. Ia adalah cermin dari cara kita memperlakukan alam: apakah sekadar tempat hiburan sementara, atau ruang hidup yang harus dijaga bersama.
Jika pengelolaan terus ditingkatkan, Coban Canggu berpotensi menjadi simbol wisata berkelanjutan sederhana, alami, tapi mengesankan.*red
