Sidoarjo – suaraharianpagi.id
Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo melaksanakan eksekusi terhadap pagar tembok dan gudang di samping Masjid Al-Hikmah, Desa Kramat Temenggung, Kecamatan Tarik, Sidoarjo, pada Selasa (25/2). Eksekusi ini berjalan tanpa hambatan atau kericuhan.
Panitera PN Sidoarjo, Rudy Hartono, S.H., M.H., memimpin jalannya eksekusi sesuai putusan PN Sidoarjo No. 166/Pdt.G/2022/PN.Sda dan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No. 89/PDT/2023/PT.SBY. Dalam amar putusan tersebut, pengadilan memerintahkan tergugat untuk membongkar tembok yang menutup akses jalan menuju rumah penggugat, Alfi Ibnu Malik.
Rudy Hartono menegaskan bahwa eksekusi ini tidak menyasar bangunan masjid, melainkan akses jalan yang sebelumnya tertutup tembok.
“Ini murni eksekusi jalan, bukan masjid. Ada warga di belakang masjid yang kesulitan akses keluar-masuk, sehingga kasus ini dibawa ke pengadilan dan akhirnya inkrah (berkekuatan hukum tetap). Jalan yang dieksekusi adalah satu-satunya akses bagi warga tersebut,” jelasnya.
Sebelum eksekusi dilakukan, pihak pengadilan sudah lebih dulu berkoordinasi dengan pengurus takmir masjid untuk memastikan pemahaman bersama mengenai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kuasa hukum penggugat, Syaifudin Zuhri, menjelaskan bahwa permasalahan ini bermula sejak 2012, saat akses jalan menuju rumah Alfi Ibnu Malik ditutup oleh pihak takmir masjid dengan tembok permanen.
“Setelah klien saya dikeluarkan dari kepengurusan masjid, santri-santrinya juga dilarang mengaji di sana. Akhirnya, santri-santri diajak mengaji di rumahnya sendiri. Namun, jalan menuju rumahnya justru ditutup oleh pihak takmir,” ujar Syaifudin.
Merasa haknya terhalang, Alfi Ibnu Malik mengajukan gugatan ke pengadilan pada 2019. Setelah melalui proses hukum panjang, pengadilan akhirnya mengabulkan gugatannya dan memerintahkan pembongkaran tembok yang menutup jalan tersebut.
Syaifudin juga menegaskan bahwa berdasarkan sertifikat hak milik (SHM) kliennya, jalan yang ditutup tersebut bukan bagian dari tanah wakaf masjid.
“Berdasarkan hasil pengukuran Badan Pertanahan Nasional (BPN), jalan itu lebarnya 3,75 meter dan bukan milik masjid,” tambahnya.
Di sisi lain, pihak takmir masjid Al-Hikmah menyampaikan keberatan atas eksekusi ini. Abdul Fatah, salah satu pengurus takmir, menilai bahwa pembongkaran yang dilakukan melampaui isi putusan pengadilan.
“Dalam putusan disebutkan hanya pembongkaran batas antara masjid dan Alfi Ibnu Malik. Namun, yang dibongkar termasuk gudang dan tandon air. Ini tidak sesuai dengan amar putusan,” tegas Abdul Fatah.
Ia juga menyoroti status tanah yang menjadi sengketa. Menurutnya, tanah tersebut merupakan milik masjid sesuai sertifikat yang terbit lebih dulu dibanding sertifikat milik Alfi Ibnu Malik.
“Masjid ini berdiri sejak lama atas wakaf warga. Sertifikatnya terbit tahun 1992, sementara sertifikat penggugat baru keluar tahun 1999. Bagaimana bisa ada sertifikat tumpang tindih seperti ini?” ujarnya.
Selain itu, Abdul Fatah membantah klaim pengukuran BPN yang disebutkan oleh kuasa hukum penggugat.
“Selama ini tidak pernah ada petugas BPN yang datang untuk melakukan pengukuran tanah di lokasi tersebut. Jadi, klaim soal tanda pengukuran dengan lebar jalan 3,75 meter itu tidak benar,” tegasnya.
Miftah, anggota takmir masjid lainnya, menambahkan bahwa sejak awal, pihak masjid hanya memberikan akses jalan sebagai bentuk toleransi, bukan untuk dialihkan kepemilikannya.
“Waktu tanah ini dibeli dan dijadikan masjid, memang disepakati ada akses jalan untuk warga. Tapi bukan berarti tanah itu bisa diklaim sebagai milik pribadi,” jelasnya.
Pengurus takmir berharap pemerintah dan instansi terkait bisa turun tangan menyelesaikan masalah ini, terutama soal dugaan sertifikat ganda yang memicu sengketa.
“Masjid ini sudah terdaftar di Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan menjadi aset desa. Kami ingin masalah ini dituntaskan secara adil agar tidak ada pihak yang dirugikan,” pungkasnya. *ds
