
Proses bakar sate diatas bara api di warung Sate Bangil, Pak Sholeh.(dokumen warung Pak Sholeh)
Mojokerto – Suaraharianpagi.id
Mojokerto bukan hanya tentang onde-onde. Kota kecil yang sarat sejarah Majapahit ini juga menyimpan satu jejak kuliner yang tak kalah kuat aromanya: Sate Bangil. Meski namanya seolah menandakan asal dari Bangil, Pasuruan, namun justru di Mojokerto-lah cita rasa sate ini berkembang menjadi identitas tersendiri membangun loyalitas penggemar lintas generasi.
Potongan daging kambing yang besar ditusuk rapi, dibakar di atas bara arang, perlahan berubah warna menjadi kecokelatan. Setiap olesan bumbu kacang yang kental, gurih, dan sedikit pedas berpadu dengan lelehan lemak yang jatuh ke bara api, menghasilkan aroma khas yang menggoda.
Sate Bangil versi Mojokerto ini memiliki ciri yang tak bisa disamakan dengan daerah lain. Daging kambingnya empuk, tidak prengus, dan dibalut bumbu kacang yang tidak terlalu manis seperti gaya Madura, tapi juga tidak sekental gaya Jawa Tengah. Rasanya berada di tengah-tengah: tegas, namun tetap bersahabat di lidah.
Biasanya sate ini disajikan bersama irisan tomat segar dan bawang merah mentah bukan sekadar pelengkap, tapi justru penyegar rasa setelah suapan pertama yang kaya rempah. Lontong hangat menjadi pasangan sempurna, membungkus semua rasa menjadi satu harmoni sederhana, khas warung-warung kaki lima Mojokerto.
Namun yang menarik, Sate Bangil bukan sekadar makanan. Ia adalah warisan rasa yang merekam perjalanan kota ini. Para perantau yang dulu membawa resep dari Bangil kemudian berbaur dengan lidah lokal Mojokerto, menghasilkan versi baru yang lebih menyesuaikan selera masyarakat setempat.
Sejak itulah, nama “Bangil” tak lagi merujuk pada tempat asalnya, melainkan pada gaya masaknya sebuah bukti bagaimana kuliner bisa berevolusi tanpa kehilangan akar tradisi. Sebagian pedagang bahkan mengaku sudah berjualan sejak era 1980-an.
Dari cerita itu kita belajar, kuliner tidak sekadar soal rasa, tapi juga tentang waktu dan ingatan. Sate Bangil menjadi saksi bagaimana masyarakat Mojokerto menjaga tradisi lewat aroma bakaran arang di pinggir jalan. Di tengah gempuran makanan modern dan cepat saji, warung sate sederhana tetap bertahan mungkin karena ada kejujuran dalam setiap tusuk dagingnya.
Sate Bangil adalah contoh kecil dari bagaimana kota yang dikenal lewat onde-onde ternyata menyimpan lapisan cita rasa lain. Kuliner ini menjadi pengingat bahwa identitas sebuah daerah tidak pernah tunggal, melainkan terdiri dari banyak kisah dan lidah yang saling bersilangan.
Mungkin, saat bara api menyala di panggangan sate sore ini, di sanalah Mojokerto sebenarnya berbicara lewat rasa, aroma, dan kenangan yang terus hidup di antara suapan daging kambing yang gurih.
Oleh: Redaksi Suaraharianpagi.id