Petani tebu H.Mubin ketika wawancara dengan awak media.(suaraharianpagi.id/dsy
Mojokerto – suaraharianpagi.id
Petani tebu di Mojokerto H. Mubin mengeluhkan beratnya beban kredit yang harus mereka tanggung di tengah lesunya penyerapan gula oleh pasar. Sistem perbankan yang mewajibkan pembayaran pinjaman pasca panen tanpa toleransi perpanjangan waktu membuat petani terjepit.
“Yang paling berat itu tanggung jawab pinjaman. Tenggat waktu pengembalian sudah ditentukan sejak awal antara petani, perbankan, koperasi, dan pabrik gula. Kalau penjualan gula tidak lancar, kami terpaksa harus mencari cara lain agar bisa melunasi tepat waktu,” ungkap H. Mubin, Kamis (18/9).
Selain kredit, biaya operasional juga terus menekan. Setiap hari petani harus membayar tenaga tebang-angkut hingga biaya transportasi. Efisiensi di lahan memang dilakukan, namun hasil usaha tetap bergantung pada harga gula.
Saat ini rendemen tebu di Mojokerto rata-rata 7,3 hingga 7,8, cukup kompetitif. Namun, harga gula yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp14.500 per kilogram dianggap belum sebanding dengan kondisi di lapangan. Apalagi, beredarnya gula rafinasi impor di pasaran membuat gula petani sulit terserap.
“Seharusnya rafinasi itu untuk industri makanan dan minuman, tapi faktanya beredar di pasar umum. Ini jelas mengganggu,” kata petani.
Kesulitan ini juga berdampak pada masa tanam 2026. Banyak petani menahan diri untuk tidak segera menggarap lahan karena modal tersedot untuk membayar kredit dan operasional.
Para petani berharap pemerintah bisa memberikan dukungan nyata, mulai dari bibit unggul, pupuk sesuai kondisi lahan, hingga fasilitas kredit yang lebih berpihak.
“Kalau tiga hal itu bisa dipenuhi, insya Allah produksi kami bisa meningkat dibanding tahun lalu,” harap mereka. *dsy
