
Sumber air di Candi Jolotundo di kaki gunung Penanggungan.(Suaraharianpagi.id/red)
Mojokerto – Suaraharianpagi.id
Di kaki Gunung Penanggungan, Mojokerto, ada sebuah tempat yang tak sekadar menawarkan keindahan alam, tapi juga menyimpan aroma masa silam: Candi Jolotundo. Di sinilah air mengalir tanpa henti sejak berabad-abad lalu, menembus batu-batu kuno dan doa-doa yang tak pernah padam. Bagi sebagian orang, Jolotundo hanyalah situs arkeologi.
Tapi bagi banyak lainnya, tempat ini adalah ruang spiritual dan sejarah yang masih hidup. Airnya dianggap suci, dipercaya membawa berkah dan ketenangan.
Di antara kabut pegunungan Trawas, gemericik air Jolotundo seolah berbisik tentang kejayaan Majapahit dan nilai-nilai kesucian yang tetap mengalir di tengah derasnya arus modernitas.
Candi Jolotundo dibangun sekitar abad ke-10 Masehi oleh Raja Udayana dari Bali, sebagai tempat pemujaan dan pemandian suci bagi putranya, Airlangga. Struktur candi yang terbuat dari batu andesit dengan tata air yang rumit menunjukkan betapa majunya peradaban dan sistem teknik air pada masa itu.
Tak heran jika Jolotundo sering disebut sebagai permata arsitektur air Majapahit. Air dari pancuran Jolotundo mengalir dari sumber alami di Gunung Penanggungan dan tetap jernih sepanjang tahun, bahkan di musim kemarau.
Bagi warga setempat, air ini tidak hanya untuk diminum atau mandi, tetapi juga digunakan dalam upacara adat, ritual spiritual, dan keperluan religi. Beberapa pengunjung bahkan membawa pulang airnya dalam botol, dengan keyakinan bahwa air itu membawa keberuntungan dan ketentraman batin.
Yang menarik, hingga kini Candi Jolotundo menjadi titik temu lintas keyakinan. Umat Hindu, Buddha, Kejawen, hingga masyarakat umum datang dengan maksud berbeda namun tujuan yang sama: mencari ketenangan.
Di malam-malam tertentu, terutama pada bulan purnama, suasana Jolotundo berubah menjadi sakral. Asap dupa mengepul, doa dilantunkan dalam berbagai bahasa, dan di antara percikan air pancuran, ada keheningan yang sulit dijelaskan.
Namun sayangnya, tidak semua pengunjung memahami makna spiritual tempat ini. Ada yang datang hanya untuk swafoto, tanpa menghargai kesakralan ruang.
Sebagian fasilitas juga mulai menua, butuh perhatian serius dari pemerintah daerah dan pengelola cagar budaya. Sebab jika tidak, kita bukan hanya kehilangan tempat wisata, tapi juga kehilangan jejak peradaban yang masih hidup di antara bebatuan.
Candi Jolotundo adalah bukti bahwa warisan leluhur tidak hanya berupa benda mati, tapi juga nilai dan makna. Air yang terus mengalir dari pancurannya menjadi simbol keteguhan budaya Nusantara: tenang, jernih, tapi tak pernah berhenti bergerak.
Dalam diamnya air Jolotundo, ada pelajaran sederhana tapi dalam bahwa kemurnian sejati tidak bisa dibangun dalam sehari. Ia tumbuh dari kesetiaan menjaga tradisi, dari keheningan yang menyimpan doa, dan dari kesadaran bahwa masa lalu bukan beban, melainkan sumber kebijaksanaan.
Mungkin, jika Majapahit adalah lautan kejayaan, maka Jolotundo adalah mata airnya kecil, tapi abadi. Di sanalah sejarah, keheningan, dan kemanusiaan bertemu, mengalir bersama waktu, tanpa pernah kering oleh zaman.
Oleh Redaksi Suaraharianpagi.id