Divisi pencegahan parmas, dan humas Bawaslu kabupaten Mojokerto Deni Mustofa.(Suaraharianpagi.id/dsy)
Mojokerto — Suaraharianpagi.id
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Mojokerto menggelar Rapat Pleno Terbuka Triwulan III Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) pada Jumat pagi, di ruang rapat Sekretariat KPU, Jalan RAAK Adinegoro No.1, Sooko, Mojokerto.
Pleno ini dihadiri oleh perwakilan partai politik, Bawaslu, serta stakeholder terkait. Dalam forum tersebut, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Mojokerto menyampaikan sejumlah catatan, terutama terkait keterbatasan akses terhadap Nomor Induk Kependudukan (NIK) dalam proses pengawasan.
Deni Mustofa, Koordinator Divisi Pencegahan, Parmas, dan Humas Bawaslu Kabupaten Mojokerto, menegaskan bahwa pihaknya kerap menemui kendala ketika melakukan pengawasan pemutakhiran data, termasuk saat uji petik di beberapa desa.
“Kami menemukan fakta di lapangan bahwa masih ada pemilih yang sudah meninggal tetapi tetap tercatat di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Bawaslu sebenarnya bisa mendapatkan dokumen kematian dari desa, namun ketika disampaikan ke KPU, kami tidak diperbolehkan melihat NIK pemilih yang bersangkutan,” ujar Deni.
Menurutnya, alasan larangan tersebut dinilai tidak tepat. Ia menekankan bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi memang mengatur keterbatasan akses, namun ada pengecualian untuk lembaga negara.
“Dalam undang-undang jelas disebutkan bahwa penyelenggara pemilu—KPU, Bawaslu, dan DKPP—diperbolehkan mengakses data kependudukan. Jadi, bukan masalah ketika Bawaslu melihat NIK maupun Nomor Kartu Keluarga (NKK) dalam konteks pengawasan pemilu. Kami ini lembaga negara, bukan pihak swasta apalagi pinjol,” tegasnya.
Selain soal akses NIK, Bawaslu juga menyoroti teknis pelaksanaan Coklit Terbatas (Coktas) yang menurutnya belum disampaikan secara terbuka. Deni menyebut baru pada pleno kali ini pihaknya mendapat informasi adanya 74 titik coktas yang dilakukan KPU.
“Sebelumnya, kami tidak pernah diberi penjelasan detail tentang teknis coktas. Baru hari ini dijelaskan. Padahal, kami juga melakukan pengawasan dan uji petik di lapangan,” ujarnya.
Dari hasil pengawasan, lanjutnya, masih ditemukan sejumlah pemilih yang seharusnya masuk dalam daftar pemilih tetap justru tercatat di Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) maupun Daftar Pemilih Khusus (DPK). Kondisi ini dikhawatirkan dapat menimbulkan permasalahan pada hari pemungutan suara.
“Banyak warga yang sebenarnya penduduk asli setempat tetapi tidak masuk DPT. Mereka akhirnya hanya bisa memilih dengan menunjukkan KTP sebagai DPK. Ini tidak ideal, karena seharusnya mereka sudah terdaftar di DPT,” jelas Deni.
Bawaslu menegaskan bahwa catatan-catatan tersebut bukan bentuk konfrontasi, melainkan masukan agar KPU lebih terbuka dan akomodatif dalam hal data pemilih.
“Harapan kami, KPU, Bawaslu, dan DKPP bisa berjalan bersama sesuai fungsi masing-masing. KPU sebagai penyelenggara teknis, Bawaslu sebagai pengawas, dan DKPP sebagai lembaga penegak kode etik. Jangan sampai ada salah persepsi yang justru menghambat keterbukaan data pemilu,” pungkasnya.*dsy
