
Keempat pelaku pengeroyokan yang berhasil dibekuk polisi.(Suaraharianpagi.id/red)
Tanjung Perak – Suaraharianpagi.id
Tragedi memilukan terjadi di tengah euforia konser musik hardcore di Pasar Tunjungan, Surabaya. Seorang pemuda bernama RPAF (22), warga Surabaya, tewas setelah dikeroyok sekelompok orang yang menuduhnya menjual tiket palsu.
Kasus ini sempat menghebohkan publik sebelum akhirnya diungkap Satreskrim Polres Pelabuhan Tanjungperak Polda Jatim.
Polisi berhasil meringkus empat pelaku, masing-masing berinisial D (21), Z (18), FA (22), dan FS (22). Sementara satu pelaku lain berinisial H masih buron dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Kasat Reskrim Polres Pelabuhan Tanjungperak AKP Prasetya, melalui Kasi Humas Iptu Suroto, menjelaskan bahwa peristiwa tragis itu bermula pada Rabu (24/9/2025) ketika korban menghadiri konser hardcore di Pasar Tunjungan.
“Saat korban masuk, panitia acara, yakni D, mencurigai adanya tiket palsu karena ukuran kabel ties yang digunakan berbeda,” ujar Iptu Suroto, Kamis (16/10).
Korban kemudian dipanggil untuk diinterogasi. Namun, ketika ia membantah tuduhan tersebut, D bersama Z langsung memukul korban di lokasi. Aksi itu sempat dilerai oleh penyelenggara agar tidak menimbulkan keributan, tetapi amarah para pelaku tak mereda.
Setelah kejadian di lantai dua Pasar Tunjungan, korban dibawa secara paksa ke kawasan Bozem Gadukan Utara V-A, Surabaya. Di tempat sepi itulah korban kembali diinterogasi dan menjadi sasaran kekerasan brutal oleh D, Z, FA, FS, dan H.
“Pelaku menampar, memukul, dan menendang korban secara bergantian sambil menuntut pengembalian uang Rp500 ribu yang dianggap hasil penjualan tiket palsu,” terang Suroto.
Dalam kondisi tertekan dan luka-luka, korban akhirnya mengakui bahwa tiket yang dijualnya palsu. Namun pengakuan itu justru membuat para pelaku semakin beringas.
Korban yang sudah lemas kemudian dibawa ke rumah FS. Di sana, luka-lukanya sempat dibersihkan seadanya. Namun ayah FS yang menyadari kondisi korban semakin kritis segera meminta agar ia dibawa ke rumah sakit.
Setibanya di rumah sakit, korban langsung mendapat penanganan di IGD, tetapi nyawanya tidak tertolong.
“Usai mengetahui korban meninggal dunia, para pelaku justru meninggalkannya di rumah sakit dengan alasan akan menghubungi keluarga dan polisi, namun mereka tidak pernah kembali,” kata Suroto.
Polisi yang menerima laporan dari keluarga korban segera melakukan penyelidikan. Berdasarkan rekaman CCTV, barang bukti pakaian berdarah, dan keterangan saksi, satu per satu pelaku berhasil diamankan: Z pada (2/10), D pada (2/10), FA pada (9/10), dan FS pada (11/10).
Dari tangan para tersangka, polisi menyita sejumlah barang bukti, antara lain pakaian korban yang berlumuran darah, pakaian pelaku, serta uang tunai Rp500 ribu.
Para pelaku kini dijerat Pasal 170 ayat (1) dan (2) ke-3 KUHP tentang pengeroyokan yang mengakibatkan kematian, dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.
“Kami berkomitmen menegakkan keadilan bagi korban dan keluarganya. Kekerasan dalam bentuk apa pun tidak bisa ditoleransi,” tegas Iptu Suroto.
Polisi juga mengimbau masyarakat agar tidak bertindak di luar hukum.
“Apapun persoalannya, serahkan pada aparat penegak hukum. Tindakan main hakim sendiri hanya akan membawa petaka,” ujarnya.
Kasus ini menjadi pelajaran pahit tentang bagaimana emosi dan kekecewaan ekonomi dapat berubah menjadi kekerasan mematikan. Di tengah semangat hiburan dan kebersamaan, satu nyawa melayang sia-sia akibat tindakan brutal yang seharusnya tak perlu terjadi.*red