
Proses penggorengan onde-onde khas Mojokerto di dapur Bo Liem, jalan Empunala.(suaraharianpagi.id/red)
Mojokerto – Suaraharianpagi.id
Tidak ada makanan yang lebih merepresentasikan Kota Mojokerto selain onde-onde. Bentuknya bulat, sederhana, bertabur wijen, dengan isi kacang hijau manis yang lembut di dalamnya.
Tapi di balik kesederhanaan itu, tersimpan jejak sejarah panjang yang membuatnya layak disebut sebagai ikon kuliner utama Mojokerto bahkan sejak masa kejayaan Kerajaan Majapahit.
Sejarawan kuliner meyakini, onde-onde sudah dikenal di Nusantara sejak berabad-abad lalu, dibawa oleh pengaruh Tiongkok melalui jalur perdagangan. Namun di tanah Mojokerto, kudapan ini menemukan rumah barunya.
Ia tidak hanya bertahan, tapi juga bertransformasi menjadi simbol identitas daerah. Tak heran jika kemudian julukan “Kota Onde-onde” melekat kuat pada Mojokerto hingga hari ini.
Bagi warga lokal, onde-onde bukan sekadar jajanan pasar. Ia adalah penanda waktu dan peristiwa. Setiap kali ada hajatan, perayaan hari besar, atau bahkan oleh-oleh khas kota, onde-onde selalu hadir menjadi lambang kebulatan tekad, kemanisan rezeki, dan kehangatan persaudaraan.
Dari dapur-dapur tradisional hingga toko oleh-oleh modern, aroma wijen sangrai dan adonan tepung ketan yang digoreng renyah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga Mojokerto.
Di setiap gigitan, ada sensasi kontras yang menenangkan: kulitnya gurih dan renyah, isinya lembut dan manis. Sebuah keseimbangan rasa yang hanya bisa lahir dari resep yang teruji waktu.
Namun waktu pula yang membuat onde-onde beradaptasi. Kini, generasi muda Mojokerto menghadirkan versi kekinian: onde-onde isi cokelat, keju, durian, hingga matcha.
Bentuknya pun bervariasi ada yang mini, ada yang berukuran raksasa. Meski begitu, esensi onde-onde tak berubah: bulat, hangat, dan selalu membawa nostalgia.
Salah satu produsen legendaris, Onde-onde Bo Liem, misalnya, sudah beroperasi sejak 1920-an. Generasi demi generasi meneruskan resep yang sama, menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi.
“Rahasia onde-onde itu bukan hanya di adonannya,” kata salah satu pewaris usaha keluarga tersebut.
“Tapi di kesabaran. Karena setiap biji wijen yang menempel, setiap bulatan adonan, harus dibuat dengan tangan dan hati.”
Dalam dunia yang serba cepat, kehadiran onde-onde seperti napas pelan di tengah hiruk-pikuk modernitas. Ia mengingatkan bahwa rasa tak perlu rumit untuk bertahan lama. Cukup jujur, konsisten, dan setia pada akar budaya yang melahirkannya.
Melihat onde-onde bertahan hingga lebih dari tujuh abad, kita seolah diajak merenung: bagaimana sesuatu yang sederhana bisa menjadi simbol identitas kota? Jawabannya mungkin ada pada setiap gigitan.
Di sana, ada sejarah Majapahit, ada tangan-tangan pengrajin yang tekun, ada aroma masa lalu yang terus hidup dalam bentuk bulat yang tak pernah berubah.
Mojokerto boleh berkembang, wajah kotanya boleh berubah, tapi onde-onde akan selalu menjadi denyut nadi rasa yang menandai asal-usulnya. Dan mungkin, di situlah letak kekuatan kuliner sejati: ketika makanan tak lagi sekadar santapan, tapi juga cerita yang manisnya tak lekang oleh waktu.
Oleh Redaksi Suaraharianpagi.id