Foto : suasana belajar mengajar di SDN 2 jipurapah, hanya ada 3 murid dalam satu kelas.(dokumen Andik Santoso)
Jombang – suaraharianpagi.id
Andik Santoso (37), seorang guru honorer di SDN Jipurapah 2, Dusun Kedung Dendeng, Desa Jipurapah, Kecamatan Plandaan, Kabupaten Jombang, menjadi perbincangan publik setelah kisah pengabdiannya di desa terpencil viral di media sosial.
Setiap hari, Andik harus menempuh perjalanan berat melewati hutan, menyeberangi tiga sungai, dan jalan berlumpur sepanjang 20 kilometer untuk mengajar murid-muridnya.
Sejak 2006, Andik memulai pengabdiannya sebagai guru honorer meski baru lulus SMA saat itu. Keterbatasan fasilitas dan medan yang sulit, terutama saat musim hujan, tidak menyurutkan semangatnya.
Pada awal pengabdiannya, selama empat bulan pertama, ia bahkan harus berjalan kaki pulang-pergi karena belum memiliki sepeda motor.
“Sejak pertama mengajar sampai sekarang, sudah sebelas motor saya habis karena rusak parah. Medannya sangat ekstrem, terutama saat hujan. Motor sering mogok di hutan, dan saya terpaksa meninggalkannya untuk pulang jalan kaki, sampai rumah jam sembilan malam. Besoknya, saya kembali untuk memperbaikinya sendiri di hutan,” ungkap Andik saat ditemui di rumahnya di Dusun Kedung Kumpul, Desa Polombo, Kecamatan Sukorame, Kabupaten Lamongan, Minggu (3/11/2024).
Saat ini, Andik tinggal bersama istri dan kedua orang tuanya, sambil terus mengabdikan diri untuk mengajar. Di hari libur, ia membantu bekerja di ladang.
Meski gaji yang diterimanya sangat minim, hanya Rp 50 ribu sebulan di awal karirnya dan kadang baru cair setelah enam bulan, Andik tetap bertahan demi pendidikan anak-anak di desa terpencil.
“Saya pernah hanya menerima gaji Rp 300 ribu untuk enam bulan. Setiap hari biaya transportasi saya lebih besar dari gaji itu, tapi saya tetap berusaha bertahan selama 18 tahun,” ujarnya.
Kini, Andik berharap bisa diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai bentuk penghargaan atas pengabdiannya yang panjang. Ia mengungkapkan, sebagian muridnya bahkan telah menjadi guru atau bekerja di kampungnya.
SDN Jipurapah 2 kini sudah lebih baik, dengan bangunan permanen yang berdinding tembok, berbeda dari dulu yang hanya terbuat dari kayu tanpa pintu dan jendela.
Sebelumnya, Andik pernah ditawari untuk mengajar di Raja Ampat, Papua, namun ia menolak karena tak tega meninggalkan keluarganya.
Tantangan lain juga datang ketika ada beberapa orang dari Nusa Tenggara Timur yang ingin mengetahui medan perjalanan ke sekolah tersebut namun tidak sanggup melaluinya.
Pengalaman ekstrem yang dialami Andik termasuk bertabrakan dengan babi hutan saat berangkat subuh dan pernah hanyut di sungai bersama motornya.
“Saya pernah bertabrakan dengan babi hutan karena berangkat subuh dalam gelap. Saya juga pernah hanyut bersama motor saat hujan deras dan air sungai meluap. Beruntung saya tersangkut di pinggir sungai dan selamat,” kenangnya.
Perjuangan Andik Santoso adalah bukti nyata dedikasi seorang guru yang rela mengorbankan segalanya demi masa depan anak-anak di pedalaman.*ds
+ There are no comments
Add yours